Zakat dan Perkembangan Ekonomi
ZAKAT: INSTRUMEN STRATEGIS
PENGEMBANGAN EKONOMI UMAT
Oleh: Syamsul Bahri
Ust. HMM PTFI
“Dan berikanlah
kepada mereka sebagian dari harta Allah yang telah dikaruniakan-Nya kepada
kalian”. (An-Nur 33)
Dalam
sistem ekonomi Islam, dapat kita tangkap, 5 (lima) nilai instrumental dari 156
usaha bisnis yang pernah Rasulullah s.a.w rintis dalam menggerakkan roda
perekonomian ummat sejak pra risalah di Mekkah sampai terbentuknya negara
Madinah. Ke-5 instrumen itu ialah; zakat, jual beli non ribawi, kerjasama ekonomi
(musyârakah, mudhârabah-murâbahah), jaminan sosial (tadhâmun ijtimâ’i) dan
badan pengawas moneter (hisbah).
Pemilihan
zakat sebagai instrumen utama ekonomi ummat mulai Nabi s.a.w sodorkan sebagai alternatif-solusi sebelum
penandatanganan fakta perjanjian Piagam Madinah pada tahun pertama hijri (622
M), meskipun SK penurunannya baru diinstruksikan pada tahun ke-3 hijri. Missi
utamanya adalah perdamaian. Sedang strateginya adalah penciptaan rasa aman.
Bagi pelaku bisnis, rasa aman mutlak dibutuhkan. Karena suatu hal yang mustahil
membangun fundamental ekonomi ummat di
tengah kerusuhan dan instabilitas keamanan yang rawan di pusat kota, tempat di
mana berlangsungnya kegiatan ekonomi (simak
tafsir surah Quraisy:1-4). 1)
Terobosan
pertama Nabi s.a.w adalah menyusun format masyarakat kekeluargaan yang kelak
dalam fakta perjanjian (mîtsâq at-tahâluf as-siyâsah) itu disepakati bernama
ummat. Bentuknya adalah mu’âkhât (persaudaraan) antara Muhajirin dan Anshar.
Kaitannya dengan ekonomi, mu’âkhât ini adalah pertemuan-silang antara dua
keahlian yang berbeda, yang satu pedagang (pebisnis) dan yang lain petani.
Keduanya dipasangkan oleh Rasul dalam bingkai ukhuwah supaya memudahkan
sekaligus melancarkan kegiatan ta’âwun iqtishâdi (kerjasama kooperatif) antara
ummat pelaku bisnis.
Dari mu’âkhât ini terbentuk komitmen pasar
yang menguntungkan semua pihak. Dari internal kaum Muslimin muncul ekonom dan
para konglomerat sekelas Utsman bin Affan dan Abdur rahman bin ‘Auf,
radhiya’l-Lahu ‘anhum. Dari sini, kita juga menjadi mengerti bahwa secara low strategis, Nabi s.a.w ingin
menerapkan politik antisipatif (hai’ah difa’iyah) terhadap gerak-laju jaringan
ekonomi ribawi yang sudah lama
menggurita di pusat ibukota, Madinah al-Munawwarah.
Pangsa pasar Madinah yang multi-etnis
memang berpotensi besar menumbuh-kembangkan praktek ekonomi ribawi. Keadaan ini
diperparah oleh kultur masing-masing etnis yang suka pamer prestasi dan
prestise, berbangga-banggaan satu dengan yang lain. Mengantisipasi keadaan ini,
Rasul s.a.w membekali ekonom Muhajirin dengan kemampuan membaca peluang pasar
(multilevel marketing) dari pengalaman ekspedisi dagang ke Syam pada musim
panas dan pengalaman ke Yaman pada musim dingin, yang Nabi sendiri terlibat di
dalamnya.
Mula-mula
turun ayat yang mengecam keras para pemilik modal yang suka mempermainkan
moneter atau harga pasar (104:2), baik dengan cara jual-beli valas, menimbun
barang atau menjadi spekulan (70:18). Tokoh-tokoh Quraisy seperti ‘Utbah bin
Rabi’ah, Abu Hudzaifah bin Mughirah, Umaiyah bin Khalaf dan saudaranya ‘Ubay
bin Khalaf termasuk pelaku bisnis yang pertama mendapat peringatan dan kecaman
keras (89:15-20).
Berlanjut
ke Madinah, al-Baqarah 275 adalah wahyu pertama madaniyyah yang berusaha
mengendalikan dan menuntun praktek bisnis Islami berhadapan dengan praktek
ekonomi ribawi. Al-Qur’an mengecam riba, habis-habisan. Memposisikannya sebagai
tindak pelanggaran sosial-ekonomi yang hanya logika syetan sajalah yang dapat
membenarkannya “Allah memusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap kekafiran yang tidak ada
hentinya berbuat dosa.” (2:276).
Dari
internal kaum Muslimin, surah at-Taubah 75-77 mulai bicara tentang koreksi
total prilaku orang kaya yang melupakan kewajiban sosialnya untuk berbagi
rezeki dengan sesama melalui sedekah. Salah satunya adalah Tsa’labah bin Khatib
Al-Anshari, pengusaha muda Madinah yang melijit kaya mendadak berkat do’a dan
modal kambing pemberian Nabi s.a.w. Sikapnya yang “kacang lupa kulitnya”
menjadi penyebab turunnya perintah zakat (9:103) pada tahun ke-3 hijri.2)
Dr.
Yusuf Qardhawi menyebut SK Zakat dalam at-Taubah 103 ini sebagai UU Jaminan
Sosial Pertama di dunia, yang di Barat sendiri baru diundangkan oleh Amerika
dan Inggris melalui Piagam Atlantik pada tahun 1941, tentunya dengan visi dan
missi yang berbeda jauh dengan ruh zakat. 3)
Sebagai
sumber kekayaan negara yang memiliki potensi besar dan cukup signifikan dalam
pendistribusian pendapatan dan kekayaan ummat. Zakat tetap menjadi pilihan
utama APBN dalam sejarah khulafa’, dinasti dan kesultanan Islam berikutnya.
Beberapa negara Islam modern, kini mulai tergerak untuk mengerahkan sumber daya
domestik mereka melalui zakat untuk membiayai repelita dalam beberapa sektor
pembangunan seperti pendidikan, kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan
sosial. Negara-negara Timur-Tengah, seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab
menyusul Malaysia dan Brunei Darussalam sangat antusias dalam menjadikan zakat
sebagai alternatif-difensif untuk mencegah moneterisasi dunia, imbas sistem
ekonomi drakula kaplitalisme dan sosialisme.
Karena itu, sikap khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
(11-13 H/632-634 M) yang tidak mau kompromi terhadap gejolak politik gerakan
nabi palsu pimpinan Musailamah al-Kadzzab di Yamamah dan Al-Ansi di San’a,
Yaman yang menolak perintah zakat dipandang sebagai final decision-economics. Ketika keputusan politik refresif Abu
Bakar digoyahkan oleh para menterinya untuk tidak jadi memerangi gerakan anti
zakat ini, dengan alasan tidak ada contohnya dari Rasul s.a.w, ia tetap dalam
pendiriannya. Di hadapan publik, sikap politiknya itu kembali ia tegaskan:
“Demi Allah, aku akan tetap memerangi siapa saja yang membedakan antara
sholat dengan zakat. Sebab zakat merupakan konsekwensi logis terhadap harta.
Demi Allah, andaikata mereka enggan membayar zakat tersebut, sedangkan mereka
pernah membayarnya kepada Rasulullah s.a.w, aku tetap akan memerangi mereka,
sampai aku binasa karenanya.” 4)
Di zaman Umar bin Khattab (13-23 H/634-644 M)
pengelolaan zakat semakin berkembang. Sistem administrasi dan management zakat
di tata rapi dengan cara memisahkan departemen Baitul Mal secara tersendiri
antara Baitul Mâl Zakat, Baitul Mâl Jizyah wa al-Kharâj (direktorat pajak),
Baitul Mâl Fa’i wa ar-Rikâz (direktorat harta rampasan perang dan pertambangan)
dan Baitul Mâl Khumuz wa al-Luqathah (direktorat harta pungutan dan temuan).
Umar juga mulai memperluas amwâl zakâwiyah (jenis harta wajib zakat) yang
awalnya terkonsentrasi pada zirâ’ah (sektor pertanian), ra’yu’l-ibil
(peternakan), tijarah (agro-bisnis) dengan memasukkan ‘urudh tijârah (komoditas
perdagangan) seperti hasil bumi, hutan,
laut, hasil tambang, hasil karya dan hasil cipta, termasuk pula sektor jasa dan
pelayanan umum (ba’i an-namâfi). Tidak berlebihan jika ekonom dunia, Dr. Umar
Chapra menyebut altruisme Umar bin Khattab itu sebagai cikal bakal implementasi
sistem bank Islam.
Berbeda dengan kebijakan Khalifah Utsman bin Affan
(23-35 H/644-656 M) yang mem-BUMN-kan kebijakan ekonomi Umar. Dengan
swastanisasi zakat dan baitul mal di zamannya, pengelolaan zakat mulai tidak
terkontrol dan cenderung mengendor, sebagai civil efek dari disintervensi
negara. Kebijakan Utsman bertumpu pada statistical
umie yang mulai berpenghasilan menengah tinggi pada waktu itu, yang memang
sudah terkondisikan di era pemerintahan Umar. Apalagi keadaan ini, ternyata
situsional. Bergantung pada situasi politik dan keadilan para aparatur negara,
yang kebetulan kurang diprioritaskan atau tidak dipertahankan di zaman khalifah
Utsman, utamanya setelah memasuki tahun ke-7 dari pemerintahannya.
Satu hal yang patut ditindak-lanjuti adalah strategi
ekonomi Utsman yang termaktub dalam Inpresnya kepada para Gubernur dan Pegawai
Pajak:
“Wa ba’du, Allah jalla
jalaluh telah memerintahkan pada para penguasa untuk bertindak sebagai layaknya
pemimpin. Kalian orang pertama yang harus memberi suri-tauladan, bukan pada
persoalan memungut biaya semata. Ingatlah, bahwa tindakan yang adil ialah
kesungguhan memperhatikan hajat orang banyak dan amanat penderitaan ummat.
Berikan hak-hak yang mesti mereka terima, sebaliknya pungut dari mereka apa-apa
yang wajib mereka bayar. Perhatikan keadaan ahli zimmi, berikan pada mereka
hak-hak yang mesti mereka terima dan pungut apa yang wajib mereka bayar.”
5)
Imam Ali bin Abu Thalib (35-40 H/656-6661 M)
menggantikan khalifah Utsman dalam situasi politik yang kacau-balau, meskipun
mekanisme pengelolaan zakat dan baitul mal tidak terganggu, jaminan sosial
berjalan terus. Kepada Muhammad bin Abu Bakar, wali kota Mesir, Ali bin Abu
Thalib menginstruksikan agar kegiatan ekonomi ummat tetap mendapat prioritas
utama. Dalam suratnya Imam Ali menulis:
“Wahai para aparatur negara,
takutlah kepada Allah ‘azza wa jalla, baik ketika sendiri maupun di muka umum.
Bertindak tegas dan keraslah terhadap para pengacau. Sebaliknya berlaku
lemah-lembutlah terhadap mereka yang taat dan patuh. Berlaku adillah terhadap
penduduk dzimmi. Lindungi orang yang teraniaya. Berlapang dadalah terhadap
mereka yang ramah. Jangan selalu menuntut hak, tapi perbanyaklah berbuat jasa,
karena pahala Allah hanya akan diberikan pada mereka yang berjasa.”6)
Ali menyakini bahwa kesejahteraan sosial berdampak
positif pada keamanan. Ummat sejahtera, negara aman. Sedang keamanan adalah
kunci keadilan. Jika keadilan ditegakkan
dan hukum jadi panglima, maka dengan sendirinya keamanan akan tercipta.
Inilah warisan terbesar Umar yang ia ucapkan sendiri pada wanita Yahudi ketika
datang meminta hak jaminan sosialnya, ketika itu Umar karena kelelahan tertidur
sendirian di bawah pohon. 7)
Di tanah air, para raja di zaman kesultanan Islam,
umumnya menjadikan zakat sebagai dasar kebijakan yang konsisten dijalankan
untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan menopang perjuangan. Majelis A’la
Indonesia (MIAMI) dalam masa pendudukan Jepang punya prakarsa jenius untuk
mengorganisasikan secara koordinatif pengelolaan zakat di 30 karesidenan di
Jawa. Caranya dengan membentuk sebuah pusat baitul mal lengkap dengan tenaga
pengelolanya yang terlatih. Sayang, proyek ini digagalkan. Dan MIAMI pun
dibubarkan pada, 24 Oktober 1943.
Kini kita hanya dapat bernostalgia, jika zakat tetap
menjadi high-strategi bagi penguatan ekonomi ummat, niscaya keadaan ekonomi
kaum Muslimin ke-Indonesia-an, tidak separah ini. Siapakah pemegang kata
kuncinya, muzakki atau mustahiq. Atau amilinkah?. Bukankah UU Zakat no. 38/1999
sudah disahkan pada, 23/9/2000. Kenapa tidak segera diresponi?
Siapapun pemegang kata kuncinya, itu bukan masalah.
Passwordnya tetap bergantung pada kesadaran segenap kaum Muslimin dalam
memberdayakan potensi zakat, tidak peduli mustahiq atau muzakkikah dia. Semoga
entri kata terlambat belum dicoret dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
mudah-mudahan pula Allah masih mau menangguhkan adzabnya terhadap para muzakki
yang enggan membayar zakat. Karena jika tidak, mana mungkin kita bisa membikin cerita rumah masa depan.
Na’ứdzu
bi’l-Lâhi min Dzâlik.
No comments